Tuesday, May 24, 2011

SISTERS OF WAR

Genre : drama
Sutradara : Brendan Maher
Pemain : Claire van der Boom,Sarah Snook,Susie Porter,Gerald Lepkowski,Paulini Curuenavuli,Khan Chittenden,Anna Volska
Tanggal rilis : 14 November 2010
Durasi : 95 menit

Film Australia yang diangkat dari kisah nyata ini bercerita tentang persahabatan yang mengharukan antara seorang perawat bernama Lorna Whyte dan seorang Biarawati Katolik bernama Suster Berenice Twohill.

Lorna adalah sorang perawat militer dari Angkatan Darat australia yang ditempatkan di sebuah markas militer di kota Rabaul Papua New Guinea.
Selain perawat dari Angkatan Darat Australia, di markas militer Rabaul itu juga ada beberapa perawat yang berasal dari misionaris Katolik sehingga Lorna bisa bersahabat dengan salah satu biarawatinya yaitu Suster Berenice.

Masalah timbul ketika pada bulan Januari 1942, tentara Jepang yang pada saat itu sedang kuat-kuatnya datang ke markas militer Rabaul. Tentara-tentara Australia yang bertugas di markas militer Rabaul itu ternyata ketakutan dan secara pengecut, mereka lari ke hutan meninggalkan para perawat dan para pasiennya yaitu tentara-tentara Australia yang terluka.
Para perawat tentu saja sangat ketakutan karena tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2 terkenal dengan kekejamannya tetapi mereka hanya bisa pasrah.

Terjadilah apa yang dikuatirkan oleh para perawat, ketika tentara Jepang sampai di markas militer Rabaul, mereka menyuruh para perawat dan tentara Australia yang luka untuk berbaris dan semuanya akan ditembak mati dengan senapan mesin.

Untungnya pemimpin misionaris Katolik di markas militer Rabaul yaitu Uskup Leo Scharmach adalah orang Jerman yang merupakan sekutu Jepang pada Perang Dunia ke-2. Uskup Leo Scharmach bisa membujuk tentara Jepang untuk tidak membunuh para perawat dan tentara australia yang luka dengan “kata-kata ampuhnya” yaitu mengaku sebagai wakil Hitler dan akan melaporkan tindakan kejam tentara Jepang itu kepada Hitler.
Akhirnya tentara Jepang tidak jadi membunuh para perawat dan tentara Australia yang luka karena selain Uskup Leo Scharmach seorang Jerman, beberapa dari biarawati adalah orang Italia yang juga merupakan sekutu Jepang pada Perang Dunia ke-2.

Sejak saat itu tentara Jepang membangun markas militer Rabaul itu menjadi markas militer yang kuat bahkan lebih kuat dibanding sebelumnya sedangkan para perawat dan tentara Australia yang luka dijadikan tawanan.

Sempat ada sedikit harapan bagi para perawat dan tentara Australia ketika tiba-tiba datang pesawat tempur Amerika tetapi sayang sekali, pihak Amerika hanya tahu bahwa markas militer Rabaul itu hanya dihuni tentara Jepang sehingga mereka menembakinya tanpa ampun.
Akibatnya tidak hanya tentara Jepang yang tewas oleh serangan udara itu tetapi beberapa perawat termasuk Uskup Leo Scharmach terluka bahkan seorang biarawati tewas.
Sejak saat itu, atas usul dari Uskup Leo Scharmach, para perawat membangun tempat perlindungan dari serangan udara.

Walaupun menjadi tawanan tentara Jepang, persahabatan Lorna dan Suster Berenice semakin akrab. Bahkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Uskup Leo Scharmach, Lorna dan Suster Berenice membantu tentara Australia yang bersembunyi di hutan dengan memberi makanan dan obat-obatan. Hal itu tentu saja sangat fatal akibatnya jika ketahuan tentara Jepang.

Tetapi persahabatan Lorna dan Suster Berenice terganggu ketika Tentara Jepang akhirnya tahu bahwa tentara Australia yang bersembunyi di hutan sering datang ke markas militer Rabaul secara diam-diam untuk mengambil bantuan makanan obat-obatan dan tentara Jepang juga berhasil menangkap tentara-tentara Australia itu.

Untung tentara Australia yang ditangkap itu walaupun disiksa habis-habisan tetap tidak mau mengaku bahwa yang memberi mereka bantuan adalah Lorna dan Suster Berenice tetapi akibatnya sangat fatal karena tentara-tentara Australia itu dipenggal kepalanya di depan para perawat dan tentara Australia yang luka, salah satu tentara Australia yang dieksekusi itu adalah pacar Lorna yaitu Leonard James Parkinson.

Lorna tentu saja sangat sedih dengan kematian kekasihnya dan berpikiran bahwa semua peristiwa tragis itu akibat Uskup Leo Scharmach yang asli Jerman itu telah berkhianat dan memihak tentara Jepang.
Lorna mengatakan kecurigaannya pada Uskup Leo Scarmach itu kepada Suster Berenice yang tentu saja tidak terima atas tuduhan Lorna kepada Uskup atasannya yang sangat dikaguminya itu. Sejak saat itulah mulai terjadi pertengkaran antara Lorna dan Suster Berenice.

Puncak pertengkaran Lorna dan Suster Berenice terjadi ketika Tentara Jepang mulai mengalami kekalahan perang melawan pasukan sekutu.
Tentara Jepang di markas militer Rabaul melampiaskan kekesalannya pada para perawat dan tentara Australia yang luka dengan memisahkan mereka. Para perawat dari Misionaris Katolik tetap berada di markas militer Rabaul sebagai tawanan sedangkan para perawat dari Angkatan Darat Australia dan para tentara Australia yang luka diserahkan kepada pihak sekutu dalam rangka pertukaran tawanan perang.
Sebelum meninggalkan Rabaul, Lorna sempat berkata pada Suster Berenice bahwa jika perang selesai, Uskup Leo Scarmach pantas dihukum gantung sebagai penjahat perang akibatnya kemarahan Suster Berenice memuncak dan ia menampar Lorna.

Kelihatannya nasib Lorna dan kawan-kawan yang diserahkan kepada pihak sekutu lebih baik daripada para Misionaris Katolik yang tetap ditawan tentara Jepang tetapi ternyata tidak. Tentara Jepang melampiaskan kekesalannya akibat mulai kalah perang dengan membantai para tentara Australia yang luka sedangkan Lorna dan para perawat lainnya tidak jadi diserahkan pada pihak sekutu tetapi ditempatkan di kota Yokohama di Jepang untuk menjalani kerja paksa.

Nasib Suster Berenice dan para misionaris lain tak kalah tragis. Karena markas militer Rabaul akhirnya hancur lebur dibombardir pesawat tempur sekutu, tentara Jepang melampiaskan kekesalannya pada para misionaris dengan membawa mereka ke tengah hutan. Di tengah hutan, tentara Jepang mulai kejam pada para misionaris bahkan mereka membunuh seorang biarawati karena kelaparan dan terpaksa mengambil makanan tentara Jepang.
Uskup Leo Scarmach berusaha mencegah perbuatan kejam tentara Jepang itu dengan “kata-kata ampuhnya” yaitu akan melaporkan pada Hitler tetapi kata-kata andalan Uskup Leo Scarmach itu tidak mempan lagi karena Hitler sudah mati bunuh diri.

Setelah berpisah dan mengalami berbagai penderitaan, Lorna dan Suster Berenice akhirnya sadar bahwa mereka benar-benar sepasang sahabat yang saling membutuhkan. Lorna dan Suster Berenice saling merindukan dan saling menulis surat walaupun mereka sadar bahwa surat itu tidak akan pernah bisa terkirim.

Bahkan Suster Berenice yang mengira Lorna sudah mati karena mendengar berita dari Uskup Leo Scarmach bahwa Lorna dan perawat-perawat lainnya terjebak di Yokohama dan Suster Berenice sendiri juga merasa akan mati karena dibunuh tentara Jepang, menyembunyikan suratnya kepada Lorna di sebuah gua dan berharap setelah perang selesai, ada orang yang menemukan surat itu dan menyerahkannya pada keluarga Lorna.

Tetapi akhirnya saat yang membahagiakan tiba, Jepang akhirnya kalah perang dan semua tawanannya termasuk Suster Berenice dan Lorna dibebaskan. Walaupun begitu, Lorna dan Suster Berenice tidak bisa langsung bertemu karena mereka dikembalikan ke tempat asalnya yaitu Lorna ke Canberra dan Suster Berenice ke Sydney, apalagi Suster Bernenice mengira bahwa Lorna sudah mati.

Baru sekitar 7 tahun kemudian yaitu di tahun 1952, Lorna punya inisiatif untuk mengirim surat kepada Uskup Leo Scarmach dan menanyakan keberadaan Suster Berenice. Akhirnya dari surat balasan Uskup Leo Scarmach, Lorna tahu bahwa Suster Berenice ada di sebuah biara di Sidney dan Lorna datang ke biara itu.

Setelah sekian tahun akhirnya Lorna bertemu lagi dengan sahabatnya, Suster Berenice. Walaupun agama mereka berbeda yaitu Suster Berenice beragama Kristen Katolik sedangkan Lorna beragama Kristen Protestan bahkan sebelum berpisah mereka sempat bertengkar dengan hebat tetapi setelah bertemu lagi, mereka bisa kembali menjadi sahabat akrab sampai mereka jadi nenek-nenek.
Itulah persahabat sejati.


Opini saya tentang film ini :
Film ini memang diangkat dari kisah nyata dan naskahnya ditulis oleh Rod Miller. Pada awalnya Rod Miller yang baru saja membeli perkebunan di Rabaul pada tahun 1991 menemukan sebuah buku harian yang ditulis oleh Grace Kruger, salah satu perawat yang ditangkap tentara Jepang di Rabaul pada tahun 1942.
Pada awalnya Rod Miller tidak begitu tertarik dengan buku harian Grace Kruger itu karena hanya berisi puisi-puisi yang tidak jelas maksudnya tetapi setelah Rod Miller mempelajarinya lebih lanjut, akhirnya Rod Miller tahu bahwa Grace Kruger sengaja menulisnya dalam bentuk yang membingungkan agar tidak mencurigakan jika ditemukan oleh tentara Jepang.
Rod Kruger menjadi tertarik dengan isi buku harian Grace Kruger itu terutama bagian yang menceritakan pengalaman Lorna White dan Suster Berenice Twohill.

Pada tahun 1997, Rod Miller melakukan wawancara langsung dengan Lorna White dan Suster Berenice Twohill sehingga jadilah naskah yang diberinya judul The Lost Women of Rabaul.
Perusahaan film ABC1 tertarik dengan naskah The Lost Women of Rabaul itu dan mulai memfilmkannya pada bulan April 2010.

Menurut saya film ini cukup layak ditonton karena jalan ceritanya tidak membosankan dan cerita nyata tentang persahabatannya cukup mengharukan.
Berikut ini saya tampilkan foto asli dari Lorna Whyte dan Suster Berenice Twohill yang sekarang tentu saja sudah memasuki usia lanjut :
(diambil dari http://www.abc.net.au)

Friday, May 13, 2011

BLUE SWALLOW

Genre : drama
Sutradara : Yoon Jong-chan
Pemain : Jang Jin-young,Kim Joo-hyuk,Yu-min, Han Ji-min, Toru Nakamura, Ko Joo-yeon
Tanggal rilis : 20 Desember 2005
Durasi : 133 menit

Film Korea Selatan yang diangkat dari kisah nyata tentang pilot wanita pertama Korea bernama Park Kyung-Won ini diawali ketika Park Kyung Won di tahun 1910 dan masih menjadi gadis kecil berusia 10 tahun. Pada waktu itu Korea belum terpecah tetapi masih dijajah oleh Jepang.
Diceritakan walaupun berasal dari keluarga miskin, Park Kyung-Won punya cita-cita yang kuat untuk bisa terbang seperti burung.

Untuk mewujudkan mimpinya, di tahun 1925 Park Kyung-Won nekad pergi sendirian ke Jepang untuk belajar menjadi pilot di Tachikawa Flight Academy. Orang tua Park Kyung-Won yang miskin itu tentu saja tidak mampu menanggung biaya pendidikan di akademi penerbang yang bergengsi itu maka Park Kyung-Won bekerja sebagai sopir taksi untuk membiayai kuliahnya.
Di Tachikawa Flight academy, Han Ji-hyeok dibimbing oleh instruktur penerbang yang terkenal di Jepang bernama Tokuda.

Pendidikan menjadi pilot tidak hanya mahal tetapi juga penuh dengan gemblengan fisik yang berat tetapi Park Kyung-Won menjalaninya dengan penuh semangat untuk mewujudkan mimpinya menjadi pilot walaupun ia adalah satu-satunya murid perempuan di Tachikawa Flight Academy.

Ketika sedang bekerja sebagai sopir taksi, Park Kyung-Won berkenalan dengan seorang pemuda yang merupakan langganan taksinya bernama Isida. Walaupun Isida kelihatan seperti seorang pemuda frustasi karena terus mabuk-mabukan, mereka berdua bisa saling cocok.

Isida terlihat sangat sayang kepada Park Kyung-Won sehingga nekad menolong Park Kyung-Won ketika dicopet oleh 2 pencopet walaupun ia tidak punya ilmu beladiri sedikitpun sehingga akhirnya malah Isida yang dihajar hingga pingsan oleh 2 pencopet itu. Untung Park Kyung-Won datang dengan polisi sehingga nyawa Isida bisa diselamatkan.
Selain itu terjadi kejutan yang menggembirakan karena ternyata Isida juga berasal dari Korea dan nama Koreanya adalah Han Ji-hyeok.
Han Ji-hyeok tinggal di Jepang karena ayahnya walaupun asli Korea tetapi bekerja sebagai pejabat di Jepang.

Tetapi  Park Kyung-Won terpaksa harus berpisah dengan Han Ji-hyeok karena tiba-tiba Han Ji-hyeok didatangi oleh ayahnya. Ayah Han Ji-hyeok marah karena Han Ji-hyeok setelah ibunya meninggal kerjanya hanya lontang-lantung dan mabuk-mabukkan maka Ayah Han Ji-hyeok menyuruh Han Ji-hyeok menjadi tentara Jepang.
Maka Han Ji-hyeok terpaksa meninggalkan Park Kyung-Won untuk mengikuti pendidikan perwira angkatan darat Jepang.

Untungnya Park Kyung-Won tidak terpengaruh dengan perginya Han Ji-hyeok dan terus bersemangat menempuh pendidikan penerbangnya. Selain itu, yang menjadi “sumber semangat” bagi Park Kyung-Won adalah ia mendapat 2 sahabat sesama siswa penerbang yaitu Segi dan Lee Jeong-heui.
Apalagi Lee Jeong-heui juga siswa penerbang wanita dan juga berasal dari Korea.

Berkat tekadnya yang kuat, pada tahun 1927, Park Kyung-Won memperoleh lisensi penerbang kelas 2. Tidak hanya itu, ternyata Park Kyung-Won benar-benar berbakat menjadi pilot sehingga sering menjadi juara lomba terbang di Jepang.

Park Kyung-Won semakin bahagia karena tiba-tiba datang Han Ji-hyeok yang sudah menjadi perwira angkatan darat Jepang dan bertugas di bagian cuaca yang kantornya berada di dekat Tachikawa Flight Academy, dengan demikian Park Kyung-Won bisa sering bertemu lagi dengan Han Ji-hyeok.
Lebih mengejutkan lagi, ternyata Han Ji-hyeok adalah kakak angkat dari Lee Jeong-heui.

Masalah bagi Park Kyung-Won datang ketika akan diadakan kejuaraan penerbang tingkat nasional di Jepang. Pada awalnya Park Kyung-Won sebagai pilot terbaik di Tachikawa Flight academy akan dikirim ke kejuaraan penerbang itu tetapi tiba-tiba datang seorang pilot wanita bernama Masako Gibe.

Sebenarnya Park Kyung-Won lebih baik daripada Masako Gibe tetapi karena Masako Gibe putri seorang pejabat maka Masako Gibe yang dikirim ke Kejuaraan Nasional Penerbang itu mewakili Tachikawa Flight academy.
Park Kyung-Won tentu saja sangat sakit hati dan sejak itulah terjadi permusuhan antara Park Kyung-Won dan Masako Gibe. Permusuhan itu tentu saja membuat Park Kyung-Won sedih tetapi untung Han Ji-hyeok selalu siap menghibur.
Cerita selanjutnya bisa ditebak, Park Kyung-Won dan Han Ji-hyeok resmi menjadi sepasang kekasih.

Puncak perseteruan Park Kyung-Won dan Masako Gibe adalah ketika Masako Gibe menantang Park Kyung-Won untuk bertanding terbang.
Park Kyung-Won berhasil menunjukkan bahwa ia lebih baik daripada Masako Gibe karena pesawatnya bisa terbang di depan pesawat Masako Gibe. Tetapi pesawat Masako Gibe tiba-tiba mengalami kerusakan dan jatuh.

Park Kyung-Won menunjukkan jiwa besarnya. Sebenarnya bisa saja Park Kyung-Won membiarkan Masako Gibe tewas terbakar di pesawatnya sehingga ia tidak punya saingan lagi dan bisa dikirim ke kejuaraan penerbang nasional tetapi Park Kyung-Won mendaratkan pesawatnya di pesawat Masako Gibe yang jatuh kemudian menolong Masako Gibe sebelum pesawatnya meledak.
Sejak saat itu berkat jiwa ksatria Park Kyung-Won, berakhirlah permusuhan antara Park Kyung-Won dan Masako Gibe dan mereka berubah menjadi sahabat akrab.

Sejak saat itu Park Kyung-Won semakin menunjukkan bakat penerbangnya dengan banyak menjuarai kejuaraan penerbang tetapi Park Kyung-Won belum sepenuhnya bahagia. Jiwa nasionalis Park Kyung-won membuatnya merasa bahwa bagaimanapun juga ia adalah orang Korea bukan Jepang.
Untuk menunjukkan jiwa nasionalisnya, Park Kyung-won berencana melakukan terbang solo jarak jauh dari Jepang ke Korea.

Untuk mewujudkan rencana nasionalisnya, Park Kyung-won dan Masako Gibe berusaha mencari dana dari orang-orang Korea yang tinggal di Jepang. Tetapi betapa kecewanya Park Kyung-won karena tidak ada orang Korea yang bersedia menyumbang karena orang-orang Korea itu merasa jiwa nasionalis Park Kyung-won kurang karena sering mengikuti kejuaraan penerbang dengan mewakili negara Jepang.
Bahasa kasarnya, Park Kyung-won dianggap pengkhianat.

Tetapi masalah yang lebih besar menghadang, pada waktu itu para pejabat Jepang termasuk ayah Han Ji-hyeok dan Han Ji-hyeok sendiri sedang melakukan kunjungan ke Tachikawa Flight Academy. Pada waktu itu Park Kyung-won sedang diwawancarai oleh seorang wartawan.
Ternyata wartawan yang mewawancari Park Kyung-won adalah seorang pejuang kemerdekaan Korea yang sedang menyamar.

Pejuang Korea yang berjuang untuk membebaskan Korea dari penjajahan Jepang itu menembak mati pejabat-pejabat yang sedang berkunjung di Tachikawa Flight Academy termasuk ayah Han Ji-hyeok sampai tewas, untung Han Ji-Hyeok tidak ikut tertembak.
Setelah semua pejabat tewas, si pejuang Korea bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.

Karena Park Kyung-won sempat diwawancarai oleh pejuang Korea itu maka ia dianggap ikut bekerjasama dalam pembunuhan pejabat-pejabat itu sehingga Park Kyung-won ditangkap dan dipenjara. Han Ji-hyeok dan Lee Jeong-heui juga dipenjara karena dekat dengan Park Kyung-won.

Keadaan Park Kyung-won, Han Ji-hyeok dan Lee Jeong-heui di penjara benar-benar menyedihkan karena mereka diinterogasi bahkan sampai disiksa supaya mengaku telah bekerjasama dengan si pejuang Korea.
Untunglah Park Kyung-won bisa dibebaskan dari penjara oleh Masako Gibe yang putri pejabat itu. Tetapi nasib Han Ji-hyeok dan Lee Jeong-heui tidak sebaik Park Kyung-won. Karena tidak tahan disiksa, Lee Jeong-heui terpaksa mengaku telah bekerja sama dengan si pejuang Korea, akibatnya lisensi penerbangnya dicabut dan Lee Jeong-heui akhirnya bekerja sebagai buruh di pabrik roti.
Karena merasa Park Kyung-won sebagai penyebab nasib sialnya, Lee Jeong-heui menjadi sangat benci kepada Park Kyung-won.

Nasib Han Ji-hyeok lebih menyedihkan lagi. Karena tahan terhadap siksaan sehingga tetap tidak mau mengaku, Han Ji-hyeok akhirnya tewas dihukum mati.

Merasa tidak tahan karena telah kehilangan orang-orang yang dicintainya, Park Kyung-won merasa harus meninggalkan Jepang ke Korea maka ia terpaksa menerima tawaran seorang pejabat Jepang saudara Masako Gibe yang bersedia membiayai terbang solo Park Kyung-won ke Korea walaupun hal itu bertentangan dengan jiwa nasionalis Park Kyung-won karena pesawat Park Kyung-won harus berbendera Jepang.
Penerbangan Park Kyung-won itu memang digunakan sebagai propaganda Jepang untuk mempererat hubungan Jepang dengan Manchuria.

Pada tanggal 7 Agustus 1933, Park Kyung-won berangkat dari Tokyo’s Haneda Airport menuju ke Seoul dengan memakai pesawat yang dicat biru dan pesawat itu diberi nama Blue Swallow yang artinya walet biru (nama yang indah ya...).
Park Kyung-won juga membawa abu kremasi Han Ji-hyeok karena sebelum dihukum mati, Han Ji-hyeok sempat menulis surat wasiat yang isinya meminta Park Kyung-won membawa abu dirinya ke Korea.

Pada awalnya penerbangan Blue Swallow berjalan lancar tetapi ketika sampai di kota Hakone, Blue Swallow dihadang hujan badai yang sangat lebat.
Instruktur Park Kyung-won yaitu Tokuda dan Menteri luar negri Jepang lewat pemancar radio sudah meminta Park Kyung-won untuk kembali tetapi Park Kyung-won tetap bersikeras meneruskan penerbangannya ke Seoul.
Bahkan Lee Jeong-heui datang ke pemancar radio kemudian sambil menangis, dia minta maaf kepada Park Kyung-won dan memintanya untuk kembali tetapi Park Kyung-won tetap teguh pada pendiriannya.

Karena cuaca semakin buruk, akhirnya pesawat Park Kyung-won jatuh di pegunungan di Hakone dan Park Kyung-won tewas bersama abu kremasi kekasihnya.

Tetapi usaha Park Kyung-won memperjuangkan jiwa nasionalisnya sampai kehilangan nyawanya itu tidak sia-sia karena setelah Korea merdeka, Park Kyung-won diakui sebagai pilot wanita pertama Korea.

Opini saya tentang film ini :
Walaupun durasinya cukup lama yaitu 133 menit, film Korea Selatan ini tidak membosankan terutama pada bagian akhirnya mengharukan sekali, sampai pingin nangis rasanya.

Yang menarik bagi saya, begitu tahu film ini diangkat dari kisah nyata, saya sangat penasaran untuk mengetahui bagaimana wajah asli Park Kyung-won.
Setelah searching di google akhirnya saya menemukan fotonya yaitu seperti di bawah ini :
(gambar diambil dari http://www.geocities.jp/bxninjin2004/themeoftoday_e/Keijoh_boom). 
Walaupun tidak secantik di film tetapi itulah wajah asli Park Kyung-won, Srikandi aviasi dari Korea.
anim-button
Untuk film animasi saya bahas di blog tersendiri, Silahkan klik button ini :
Custom Search